Pantai di Wonogiri


Tulisan ini dibuat sebagai oleh-oleh dari tahun 2009. Bukankah kenangan indah layak untuk diabadikan? Karena sudah lama tidak posting (setahun! :D), maka kenangan tersebut akan ku abadikan ke bentuk tulisan. Memang saat ini aku banyak latihan jurnalistik. Tapi juga untuk mengikuti ajang Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC. www.mudaers.com.


Saat libur semesteran tahun lalu, bersama teman-teman aku berencana untuk pergi berlibur ke suatu tempat. Akhirnya diputuskan untuk pergi ke pantai. Pantai Nampu, itulah namanya, pemilihan pantai ini sebagai tujuan wisata liburan kami bukan karena tanpa sebab, tetapi karena pantai yang berada di Kabupaten Wonogiri ini konon katanya masih belum terjamah.

Sabtu, 26 Desember 2009 kami berkumpul di rumah kos salah satu temanku yang berada di dekat sekolah. Dari sana, makan waktu sekitar dua jam lebih untuk sampai di lokasi. Perjalanan begitu lama karena memang berjarak lebih dari 120 km dari kota Solo. Ditambah lagi sebelumnya tidak ada satu pun dari kami yang tahu lokasinya, sehingga kadang-kadang harus berhenti untuk sekedar bertanya arah jalan. Sebagai informasi, dengan kecepatan rata-rata tak kurang dari 80 km/jam menggunakan sepeda motor bermesin 110cc perlu isi bensin Rp 10.000,- untuk berangkat, itu pun masih tersisa setengah ketika tiba di tujuan.


Hampir tiba di lokasi, jalan sudah mulai sepi. Ternyata penunjuk arah menunjukkan kami berangkat sejalur dengan jalan menuju Pracimantoro, dan Yogyakarta. Memasuki lokasi kami harus berhenti untuk beli tiket masuk seharga Rp 2.000,-/orang. Setelah melewati pintu gerbang ala kadarnya yang terbuat dari bambu dan dijaga oleh pemuda-pemuda setempat, kami disambut oleh jalan naik turun yang sempit. Tapi setidaknya sebuah truk dapat melewati jalan itu. Ketika pertama kali datang, siapapun pasti akan berharap menyaksikan garis pantai setiap melewati tanjakan. Karena memang sebelum tiba di pantai kami harus melalui banyak tanjakan dan turunan yang lumayan terjal. Tak apa, karena rasa lelah setelah melalui perjalanan panjang ini, dibayar lunas dengan penampakan garis pantai pada tanjakan terakhir.


Tiba di pantai Nampu. Setibanya di lokasi pantai, sekali lagi mesti merogoh kocek untuk membayar biaya parkir sebesar Rp 2.000,-/motor. Menyentuh air laut, kami harus berjalan kaki sekitar 200 meter dari tempat parkir. Melewati anak tangga turun menuju pasir pantai. Aroma laut sudah sangat tercium sampai di sini.  Jika diperhatikan, karakteristik pantai Nampu ini memang unik, dipenuhi dengan perbukitan yang kebanyakan tersusun atas formasi batuan cadas dan koral yang menjulang tinggi membentuk bukit. Sehingga, cakrawala, garis batas antara langit dan air laut dapat terlihat dengan jelas sebelum kita menginjakkan kaki di pasir pantai.

Pantai Nampu ini dapat dibilang masih relatif belum terjamah, meski sudah ada beberapa fasilitas yang dibangun seadanya macam kamar ganti. Dan juga sudah ada beberapa penjual minuman dan makanan di sekitar pantai. Jika anda pernah ke pantai Parang Tritis di Yogjakarta, maka anda akan merasakan sensasi yang berbeda di pantai Nampu ini. Sensasi itu datang dari pasirnya. Jika dideskripsikan, pasir pantai di Nampu lebih putih dengan diameter yang relatif lebih besar tapi tetap terasa lembut. Mungkin karena pasir di sini terbentuk akibat dari pecahan batuan koral yang terhantam ombak tiap harinya sehingga membentuk karakteristik pasir yang unik. Dan juga terlihat lebih putih, mungkin karena masih sedikit polutan di sekitar pantai. Beda dengan Parang Tritis yang banyak polutan mencemari pasirnya.
Bermain air, itulah aktivitas utama kami di sini. Dengan sebelumnya membeli beberapa es kelapa muda seharga Rp 2.000,-/gelas untuk melepas dahaga, serta menitipkan tas dan pakaian di salah satu warung. Secara keseluruhan, jika sekilas saja dilihat, maka daerah yang paling menarik rasa ingin tahu adalah sebuah bukit bertebing di pinggir laut, ombak yang menabraknya membentuk batuan-batuan dan tebing yang curam. Pasti tepat untuk sebuah lokasi pemotretan. Setelah sedikit bermain di area itu, kami kembali untuk melakukan apa yang wajib kami lakukan di pantai, bermain air.

Puas setelah lebih dari satu setengah jam di pantai, karena tidak membawa pakaian ganti kami kembali pulang dengan badan penuh keringat dan air laut, bercampur dengan pasir. Perjalanan pulang ke Solo, kami diguyur hujan deras. Berteduh di salah satu warung di Wonogiri kota, sekalian makan santapan lezat berupa mie ayam dan minum teh hangat yang total satu porsi Rp 10.000,- (kebiasaan lama, lupa nama warungnya). Pulang, karena takut kehabisan bensin di tengah perjalanan isi bensin Rp 10.000,- lagi, dan dengan kecepatan rata-rata di atas 90 km/jam kami tiba di Solo dalam waktu tak lebih dari satu setengah jam.

Kesimpulan, sebagai bangsa Indonesia kita boleh berbangga hati memiliki kekayaan alam yang luar biasa berupa pantai yang indah. Akan tetapi rasa bangga itu baru boleh kita pamerkan setelah kita dapat secara bersahabat mengelola dan merawat alam yang telah Tuhan anugerahkan pada bangsa ini. Jika melihat pengalaman yang aku pernah rasakan, jalan-jalan ke pantai Nampu, memang indah, tapi kritik untuk pemda setempat adalah fasilitas seharusnya diperbaiki. Bukankah ini adalah salah satu potensi yang dapat dijadikan maskot wisata kota Wonogiri disamping waduk Gajah Mungkur. Dengan sedikit perbaikan dan banyak promosi, maka bukan hal mustahil wisatawan asing yang datang. Jika sudah demikian, bukankah yang akan merasa bangga adalah masyarakat kota Wonogiri sendiri. Tunjukkan pada dunia bahwa bukan Bali saja maskot wisata di Indonesia, banggalah karena memiliki pantai yang sejujurnya jauh lebih indah jika dirawat dengan baik, dan pantai tersebut ada di kabupaten Wonogiri.
Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC. www.mudaers.com.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog