MENGAPA BANGGA JADI INDONESIA



Beberapa waktu yang lalu ada sebuah kompetisi blog, karena sangat tertarik, maka postingan ini ku buat untuk mengikuti Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC, www.mudaers.com.
Sebagai bangsa Indonesia, ketika kita ditanya “apakah bangga menjadi Indonesia?”, secara normal pasti kita dengan bangga menjawab ya. Tapi jika ditanya alasannya, biasanya secara normal juga kita akan menyebutkan segala anugerah yang diberikan Tuhan pada bangsa ini. Hal tersebut berlaku untuk manusia yang dilahirkan –oleh ibunya– di Indonesia.
Apa sih yang kamu banggakan dari Indonesia?


Begini ceritanya, dari segi geologis kita semua telah tahu Indonesia terdiri dari jutaan pulau yang total garis pantainya lebih jauh dari garis khatulistiwa. Dimana di dalamnya terdapat jutaan spesies makhluk hidup baik flora maupun fauna. Panorama alamnya luar biasa cantik tak tertandingi negara manapun, seolah negeri ini cuilan taman langit yang jatuh ke bumi. Ratusan taman laut belum terjamah yang dapat dijadikan lokasi penyelaman. Jajaran pegunungan Mediterania dan Pasifik membentuk bentangan pulau, menciptakan gunung-gunung vulkanis menjulang tinggi yang menghasilkan tanah terbaik di dunia. “Tongkat pun jadi tanaman”, tak percaya? Coba saja tancapkan batang ketela di tanah belakang rumah ku, di musim hujan tak lebih dari tiga hari untuk tongkat itu berdaun muda. Kekayaan flora di Indonesia sudah tak perlu ditanya, seharusnya adalah terkaya di bumi. Bagaimana dengan hewannya? Jenis fauna zona Asiatis yang sangat bertenaga dengan jenis zona Australia yang sangat eksotis ada di Indonesia. Keduanya rukun menyatu di sini. Tak heran banyak spesies langka Indonesia yang dapat kita temui di kebun binatang negara lain. Karena bangsa lain ingin anak-anak mereka menyaksikan badak bercula satu yang hidup, kasuari yang terbang, ataupun harimau Sumatera yang sedang buang hajat. Itulah fauna Indonesia, unik.

Dari segi sosiologis, sejak zaman kerajaan Sriwijaya Nusantara sudah terkenal peradabannya ke seluruh benua. Armada laut yang tangguh terorganisir dengan baik, salah satu yang terkuat yang pernah ada. Bahkan kalau anda sempat baca novel karya Kak Andrea Hirata yang berjudul “Maryamah Karpov” masih bisa terasa betapa kuatnya armada laut yang pernah kita miliki. Yang sisa-sisa kekuatannya berjuang bertahan hidup hingga sekarang dengan berkawan pada laut. Majapahit, sebuah kerajaan besar, sempat pula Gajah Mada menyatukan Nusantara di bawah bendera kerajaan itu. Agraris, ya itulah kenangan yang ditinggalkannya. Menciptakan orientasi budaya berbasis cocok tanam. Cara bercocok tanam yang mengakar budaya hingga saat ini. Pertanian, perkebunan, perikanan, yang bahkan sempat tiga setengah abad Belanda dengan konspirasinya mencicipi hasil agraris tiada batas dari Indonesia. Berbagai macam turunan Adam ada di Indonesia, bersuku-suku berwarna-warni penuh dengan corak semua bersatu di bawah ekor sang Garuda, tercengkeram kuat di kakinya, terpatri selamanya di tulisan berbahasa sansekerta. Bahasa kuno itu kurang lebih artinya “berbeda-beda tapi tetap satu jua”. Tulisan yang menyiratkan persatuan dari berbagai jenis makanan yang dimakan bangsa ini. Nasi tumpeng, gudeg, soto, rendang, rawon, itu segelintir makanan ‘berat’ dari pulau Jawa, belum termasuk camilan tradisional lainnya, belum yang dari Sumatera, Sulawesi, Papua atau luar pulau jawa lainnya, belum lagi masakan original hasil akulturasi nusantara dengan bangsa lain. Bayangkan jika dibuat ensiklopedi resep masakan dan camilan nusantara, berapa kira-kira tebalnya. Jamu, minuman asli nusantara yang paling aman dan paling menyehatkan di planet ini, sudah turun temurun ada di Indonesia. Khasiatnya di bidang kesehatan sudah terbukti, bahkan menurut riset termutakhir, daripada mengkonsumsi obat-obatan kimia, lebih baik minum jamu, begitulah anjurannya.

 Dari segi perilaku alias “unggah-ungguh” bertata krama, Indonesia paling ramah di antara negara lainnya. Lemah lembut, seperti di Jawa tapi tetap bertenaga seperti suku-suku di Papua.
Ironi, negara kaya, tidak tanggung-tanggung, fantastis kekayaannya, tapi miskin itu Indonesia. Entah karena efek samping dari konspirasi setengah abad yang mengubah isi nusantara. Atau karena bangsa ini telah lupa daratan, terlalu lama dimabuk kenikmatan bergelimangan kekayaan alam. Terlalu rakus, sehingga alam menunjukkan gempa yang terdahsyat sembilan koma tiga skala richter membuat manusia di dunia ini bergidik. Gempa sampai angka tujuh saja adalah rekor terkuat di planet bumi, sedangkan sembilan? Memang pengalaman untuk menyadarkan bangsa Indonesia harus ditukar dengan ratusan ribu nyawa rakyatnya.

“Mungkin alam mulai bosan bersahabat dengan kita”. Anugerah yang kita banggakan mulai memusuhi kita. Bagaimana tidak? Hal yang paling kecil, bungkus permen, ke mana kita membuangnya jika sedang di dalam bus? Sanggupkah kita menahannya sebentar, simpan dalam saku pakaian, begitu sampai di tujuan buang di tempat sampah non-organik kering.
Lihat sungai-sungai di Indonesia, terutama di daerah padat penduduk, di kota-kota, kotor. Bagaimana bisa kita membanggakan kekayaan alam Indonesia, jika kita belum dapat mengelolanya dengan perasaan ingin bersahabat, bukan dengan rasa ingin meraup kekuasaan dengan keuntungan sepihak. Membanggakan perbedaan suku pun tidak bisa, selama konflik antar suku masih terjadi. Bangga dengan tata krama, sopan santun, atau kebudayaan Indonesia? Coba lihat remaja saat ini, sumpah pemuda dianggap barang kuno yang patut dimuseumkan. Bahasa Indonesia saja tidak digunakan dengan baik di kehidupan sehari-hari, apalagi basa krama alus-nya orang jawa, it’s expired guys! Remaja kita lebih bangga berlogat asing daripada logat lokal. Dugem jauh lebih asyik daripada menyaksikan wayang kulit. Kekerasan, seks bebas, kriminalitas kebanyakan dilakukan remaja. Ah, aparat penegak hukum pun sama saja, tetua-tetua yang gila harta berkuasa di singgasana penting pemerintahan. Sedikit perdebatan berakhir dengan pukulan. Hukum negeri ini pun masih jauh dari kata ‘bangga’, apalagi dibanggakan. Anak bangsa membangun negeri tetangga, dikuras tenaga dan mentalnya dengan variasi kreatif tindak kekerasan, Indonesia paling banter cuma bisa bakar ban bekas di depan kedutaan. Hilang taring di depan tetangga sendiri, tidak bisa menyelamatkan bangsanya sendiri yang dimanfaatkan untuk membangun negeri orang. Kehormatan sebagai warisan kerajaan besar macam Sriwijaya atau Majapahit lenyap di mata tetangga, apalagi bangsa yang jauh di seberang samudera. Teriak-teriak ngomong stop global warming, tapi buang sampah plastik permen masih sembarangan. Padahal sampah plastik merupakan investasi jangka panjang dalam menunjang pemanasan global. Ikut-ikutan merayakan hari AIDS sedunia, tapi perayaannya dengan pesta seks. Bilang ingin mengurangi kemiskinan, malah beli mobil super mewah yang padahal fungsinya bisa digantikan yang lebih ramah lingkungan, andong, delman, bendi, dokar, itu sudah ada sejak dulu. Apalagi kalau kantor sampai rumah dinas berjarak tidak lebih dari lima kilometer. Panas? Ku beritahu rahasia, yang membuat panas itu asap dari knalpot, sedangkan yang bikin sejuk itu pohon hidup. Sedangkan kotoran kuda itu bisa jadi penyubur pohon yang masih hidup.

“Coba kita tanyakan pada rumput yang bergoyang”. Meskipun banyak anugerah Tuhan Yang oleh ‘Indonesia saat ini’ disia-siakan, dikuras tanpa perasaan. Tapi setidak-tidaknya diriku sendiri bangga akan satu kenyataan di hadapan ku. Kenyataan yang dapat dibanggakan di konferensi antar bangsa. Tidak sekedar membanggakan anugerah Tuhan, karena anugerah tersebut sudah selayaknya untuk dibanggakan jika kita telah benar cara membanggakannya. Siapapun bangsanya jika diberi karunia alam seperti di Indonesia pasti bangga, jadi ku rasa bukan itu yang dibanggakan jati diri Indonesia, Banggalah akan kenyataan ini, harapan. Indonesia adalah bangsa yang penuh dengan harapan, sikap optimis, dan hasrat untuk jadi yang terbaik dengan lebih baik. Sejak zaman dahulu kala, entah itu bangsawan, petani, pengangguran, presiden sekalipun, sampai sekarang pasti punya keinginan untuk jadi lebih baik. Bahkan di saat yang paling sulit, kala penjajahan harapan untuk merdeka selalu berkobar. Saat kemiskinan dialami, harapan bahwa anak cucunya jadi lebih baik tetap digemakan di telinga anak-anak itu. Saat bangsa ini kehilangan jati dirinya, semangat menjadi harapan untuk pembuktian pada bangsa lain, bahwa Indonesia adalah yang terbaik. Temukan caranya, jika tidak ketemu, buat cara mu sendiri. Bangsa lain akan iri. Meskipun hanya kecil, secercah harapan itu akan selalu ada, itulah yang –setidaknya- diri ku sendiri banggakan dari Indonesia. Dan –setidaknya- diriku sendiri, bangga jadi Indonesia, karena berarti aku adalah salah satu dari pembawa secercah harapan bagi bangsa ku sendiri, bangsa Indonesia.
Kompetisi Website Kompas MuDA – KFC, www.mudaers.com.

Comments

Popular posts from this blog